Sejauh mata memandang, kumpulan manusia saja yang tampak. Terik menyengat tanah lapang. Berkerumun orang segitu
banyaknya. Nyaris tak ada celah di antara satu dan lainnya. Rapat.
Sebuah tali dibentangkan, memisahkan pria dan wanita. Mereka menunggu
dengan sabar. Menunggu seseorang yang membuat alasan mereka datang, jauh
sekalipun jaraknya.
Lelaki kurus berpeci, berpakaian koko putih, celana panjang hitam, naik
panggung sederhana itu. Ia tersenyum, menatap hingga sejauh pandang ia
bisa. "Assalammualikum warrahmatulahi wabarrakatuh," sapanya. Orangnya
kecil, suaranya keras. Gelegar jawaban bergemuruh itu hari, meruar ke
angkasa.
***
Air Molek, Indragiri Hulu, Riau, 1994.
Mad. Lelaki muda itu dipanggil teman-temannya di Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek.
Kota kecamatan ini tak terlalu menonjol, tadinya hanya pohon karet dan
rawa saja di mana-mana, menjadi daerah penyambung Rengat dan Taluk
Kuantan. Hanya beberapa kilometer dari Air Molek, ada daerah namanya
Lirik dulu perusahaan minyak Amerika, Stanvac beroperasi di sini sebelum
ada Pertamina dan Medco. Belakangan bermunculan perkebunanan kelapa
sawit di sekitarnya. Dulu jembatan masih kayu, jalan disiram sisa minyak
hitam, belum beraspal pula.
(Mengapa saya tahu? Saya pernah tinggal dan sekolah di SMA Negeri Air Molek, setahun, pada 1987)
Mad. Anak muda itu bukan asli daerah itu. Ia berasal dari Desa
Silo Lama kecamatan
Silau Laut Asahan,
Sumatera Utara, sebelum pindah ke Pelalawan, Riau. Kehidupan Pesantren
dan ilmu agama Islam sudah ditanamkan kepadanya sejak ia kecil. Sekolah
dengan basis tahfiz (penghafal) Alquran. Tamat dari SD Al-Washliyah
Medan tahun 1990, ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah
Mu’allimin Al-Washliyah Medan. Ia pernah pula menjadi santri di
Pesantren Darularafah Deliserdang Sumatera Utara. Sebelum bersekolah di
Air Molek, ini.
Mad. Sangat tekun belajar, ia lahap seluruh
kitab-kitab. Ia dalami ilmu agama, seperti kehausan akan ilmu. Setiap
saat ia hanya dedikasikan waktunya memperdalam ilmu hadist, fiqih,
sejarah Islam.
Mad, anak ini tahu benar. Susah payah orangtua menyekolahkannya, tak dia sia-siakan waktunya.
***
Silo Lama, Kecamatan Silau Laut kabupaten Asahan, Sumatera Utara Rabu, 18 Mei 1977
Bayi lelaki itu lahir petang itu. Dinamai
Abdul Somad. Ayahnya seorang
petani, ibunya ibu rumah tangga biasa dan guru mengaji anak-anak
kampung.
Bayi lelaki itu belum menyadari dalam tubuhnya mengalir
darah ulama besar di masanya,
Syekh Abdurrahman atau dikenal dengan
sebutan
Tuan Syekh Silau Laut. Mantan hulubalang Kerajaan Kedah, tokoh
yang namanya dikenang di Pattani, Thailand Selatan tempat ia belajar dan
menyebarkan agama. Pendekar silat termashyur dan kepercayaan Kerajaan
Asahan Melayu.
Tuan Syekh Silau Laut itu kakek dari Hajah Rohana,
ibu Abdul Somad. Doa dan harapan orangtuanya, agar bayi lelaki itu
kelak bisa melanjutkan nama besar kakek buyutnya. Menjadi ulama,
pemersatu umat.
Impian yang didoakan terus menerus dengan hati
yang tulus, akan sampai pada pemilik segala hak, dan mewujud kemudian.
Ia dikenal sebagai Ustadz Abdul Somad.
***
Somad muda
tamat MA Nurul Falah, Air Molek. Melanjutkan kuliah ke UIN Syarif Kasim,
Pekanbaru. Setahun saja. Ia tak ingin memberatkan beban orangtua.
Pengajuan beasiswanya ke Al Azhar Kairo, Mesir berhasil. Tahun 1998, ia
ke Kairo, satu dari 100 orang yang lolos beasiswa tahun itu, dari ribuan
pendaftar. Tiga tahun 10 bulan ia lulus, Lc (licence) ia raih dengan
baik. Ia lanjutkan di Universitas Kebangsaan Malaysia, dua semester saja
ia di sana.
Somad berburu beasiswa lagi. Ia mendaftar ke
Institut Darul-Hadits Al-Hassaniyah Rabat, Maroko. Yang setiap tahunnya
hanya memberikan 20 beasiswa, 15 dari Maroko, dan 5 dari negara lain.
Somad salah satunya. Pada 2004, ia berangkat ke negeri jauh itu. "Mesir,
Libya, Tunisia, Aljazair, baru Maroko, menyeberang ke Barcelona, Real
Madrid" Ia menjelaskan keberadaan Maroko, disambut gelak tawa.
Di
sela-sela kuliah, bila musim haji ia ke Madinah dan Mekah, bekerja
membantu jamaah haji asal Indonesia untuk menambah bekalnya. "Suatu hari
nampak orang kaya salah satu calon haji, manggil saya. 'Sini kamu,
sudah berapa lama jadi TKI' dianggapnya awak ini TKI, "saya mahasiswa" ,
'mahasiswa di mana' saya jawab Maroko. "Maroko mananya Merauke?" Ah,
tak saya jawablah, tak tahu pula dia." Tawa berderai-derai.
Lulus
dari Maroko, setahun 11 bulan. Gelar DESA (DiplĂ´me d’Etudes SupĂ©rieurs
Approfondies) berhasil ia raih. Pulang kampung lagi dia. Niatnya terus
menimba ilmu, terkendala pesan ibunya untuk pulang. Panjang lagi
perjalanan hidupnya, menjadi dosen Dosen Bahasa Arab di Pusat Bahasa UIN
Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau, Dosen Tafsir dan Hadis di Kelas
Internasional Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, Dosen Agama Islam di
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Azhar Yayasan Masmur Pekanbaru.
Kecendekiaan ilmunya membawanya menjadi anggota MUI Provinsi Riau,
Komisi Pengkajian dan Keorganisasian Periode 2009–2014, Anggota Badan
Amil Zakat Provinsi Riau, Komisi Pengembangan, Periode 2009–2014, bahkan
pernah menjadi Sekretaris Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama
Provinsi Riau, Periode 2009–2014.
"Bapak merokok? tanya penguji
kesehatan itu pada saya, saya jawab tidak. Orang itu tanya lagi kenapa
bibir bapak hitam? saya jawab, karena kulit saya hitam, bibir hitam,
kalau kulit saya hitam bibir saya putih, cem mana pula itu?"
Ustadz Abdul Somad, khotbah di mana-mana, berceramah di langgar atau
surau kecil hingga masjid-masjid raya. Di depan pejabat daerah hingga
petinggi negeri. Ceramahnya menjadi viral, ditonton jutaan orang. Logat
Melayu Riau nya kental.
Pengagumnya makin banyak. Kepiawaiannya
membawakan ceramah dengan sederhana namun tak menghilangkan makna,
disukai banyak orang. Berduyun-duyun orang datang menanti kata-kata yang
keluar dari mulutnya. Hadis dan Fikih dikupas olehnya, membumi. Tak
pernah dalam ceramahnya ia mengajarkan permusuhan, ia tak pernah
menyebut mazhab satu lebih baik dari lainnya, ia berkali-kali menyerukan
persatuan umat.
Makin tinggi pohon, makin kencang angin
menerpa. Disadari benar Abdul Somad. Berbagai halangan ia terima,
penolakan kepadanya datang pula. "Apakah saya punya tampang teroris?
Wajah saya semanis es krim," katanya.
Ditolak dan dihalang di
satu tempat, di tempat lain ia ditinggikan. Ceramah di depan Wapres
Jusuf Kalla, dihadapan jajaran Mahkamah Agung, Mabes TNI hingga MPR
sudah ia lakukan. Apa yang diragukan lagi darinya? Apa yang ditakutkan
dari lelaki ini? Apakah kemampuannya menjadi daya tarik berkumpulnya
massa harus diwaspadai dan dicurigai? Dengarkan ceramahnya sampai
tuntas agak tak berkesimpulan kusut masai.
***
Menuju
Dusun Air Bomban, Batang Gangsal, Indragiri Hulu, Riau. Abdul Somad
berkendara mobil lima jam, kemudian naik perahu kecil berjam-jam pula,
desa di pedalaman hutan . Suku Talang Mamak, berdiam. Ia mengajarkan
mengaji, ia turut membantu pendirian sekolah dan masjid di sana.
Ia dan anak-anak suku terasing yang tak terjamah itu mengibarkan
bendera merah putih. Menyanyikan lagu Indonesia Raya. Di tengah hutan,
sepi. Jauh masa, sebelum mereka meragukan ke-Indonesiaannya.
Kegiatan yang sudah lama sekali ia lakukan. Tak hanya dalam khotbah ia
menyerukan saling bantu, toleransi, bergotong royong dalam kenyataan ia
wujudkan pula. Meski harus berlelah-lelah pula mencapainya. Tak banyak
sorot kamera. Jauh dari pusat kota dan sunyi dari pemberitaan. Setahun
dua kali ia sempatkan menembus belantara itu.
***
Abdul Somad ingat benar yang disampaikan ulama idolanya KH Syukron Makmun. "Jangan harap pujian, jangan takut cacian".
"Aku tak pernah mencari engkau. Engkau tak pernah mencari aku. Allah
yang mempertemukan kita," ia kerap mengatakan ini, bahwa pemilik segala
ketentuan hanya Allah SWT semata.
Tuan Syekh Silau Laut akan bangga pada cucu buyutnya ini.